Sengkarut Masalah Pembangunan Gereja Betlehem di Desa Bijeli
Redemptus De Sales Ukat
(Pemuda Komunitas Peacemaker Perbatasan)
Indonesia sekalipun dikenal sebagai negara yang majemuk dan demokratis ternyata hal itu tidak menjamin bahwa semua warga negaranya bisa hidup dengan aman dan damai. Di sana – sini masih banyak warga menjerit karena merasa diperlakukan tidak adil oleh sesamanya karena suku, ras dan agama yang berbeda. Ketidaknyamanan ini paling sering dialami oleh warga dari kelompok minoritas. Pemerintah pun kadang – kadang cenderung membela perilaku intoleran itu dengan peraturan-peraturan daerah yang kontroversial dan menguntungkan mayoritas.
Di berbagai media kita juga bisa melihat dan mendengarkan bagaimana rumah-rumah ibadat agama-agama minoritas disegel, dirusak dan bahkan dibakar sebagai bentuk penolakan kehadiran mereka. Tak hanya itu para pemeluk agamanya pun dipersekusi, dianiaya dan dibunuh tanpa belas kasihan. Semua atas nama membela agama dan kekhawatiran yang tidak beralasan terhadap eksistensi agama lain.
Dalam laporan yang disampaikan oleh Setara Institut yang dirilis pada April 2021 lalu, menyatakan bahwa sepanjang tahun 2020, terjadi 180 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), dengan 422 tindakan. Peristiwa pelanggaran KBB itu tersebar di 29 provinsi di Indonesia dengan konsentrasi pada 10 provinsi utama yaitu Jawa Barat (39), Jawa Timur (23), Aceh (18), DKI Jakarta (13), Jawa Tengah (12), Sumatera Utara (9), Sulawesi Selatan (8), Daerah Istimewa Yogyakarta (7), Banten (6), dan Sumatera Barat (5). Tingginya jumlah kasus di Jawa Barat hampir setara dengan jumlah kumulatif kasus di 19 provinsi lainnya. Pelanggaran itu berupa penghentian pembangunan, penyegelan, dan perusakan masjid, gereja, dan klenteng. Sebagian besar disebabkan oleh produk kebijakan yang diskriminatif, intoleransi masyarakat sekitar, dan konflik internal kepengurusan rumah ibadah.
Memang di dalam laporan itu tidak disebutkan NTT secara eksplisit tetapi itu tidak berarti NTT aman – aman saja. Di akar rumput kita masih menemukan banyak sekali gesekan – gesekan yang terjadi di masyarakat terkait dengan pelanggaran KBB ini. Salah satu contoh yang bisa kita ambil adalah kasus yang menimpa umat Gereja Betlehem (GMIT) di Desa Bijeli, Kecamatan Noemuti, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Gereja tersebut sampai hari ini masih dihentikan pembangunannya karena dinilai tidak memenuhi syarat pendirian rumah ibadat sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri nomor 8 dan 9 tahun 2006.
Pengrusakan Gereja GMIT di Desa Bijeli
Sebelumnya pada tahun 2013 yang lalu Gereja tersebut pernah dirusak massa. Akibat perusakan itu, kusen, seng, tembok dan terpal untuk penampungan air berantakan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber menyebutkan bahwa perusakan dilakukan karena massa menilai pembangunan rumah ibadah tersebut melanggar aturan. Dalam aksi massa itu, diketahui sekretaris desa setempat ikut terlibat di dalamnya.
Pendeta Yorgabs Boru S.Th, pendeta yang memimpin jemaat di Desa Bijeli mengatakan, gereja itu masih dalam tahap pembangunan. Ia mengaku tak mengerti motivasi dari perusakan itu. Saat itu pihaknya telah melaporkan kejadian itu kepada pihak kepolisian. Menurut dia, gereja tersebut sudah ada sejak awal 1991. Diakuinya, gereja itu awalnya memang rumah biasa, lalu berkembang menjadi rumah beratap seng kemudian dibangun permanen sebagai gereja.
Sementara itu, terkait perusakan tersebut, Wakil Bupati Timor Tengah Utara yang menjabat saat itu, Alosius Kobes mengatakan, pembangunan gereja itu sejak awal memang telah menuai pro dan kontra. Hal ini karena pembangunan gereja tersebut tidak memenuhi salah satu syarat yang tertuang dalam PMB yakni jumlah jemaat. Ia pun berpendapat bahwa bukannya umat tidak mau gereja dibangun, tetapi umat mempertanyakan mengapa gereja dibangun sedangkan tidak ada jemaat yang beribadah di tempat itu.
Apa yang disampaikan oleh sang wakil bupati dikuatkan oleh Kepala Desa Bijeli, Martinus Hausufa. Menurutnya dari total 674 jiwa penduduk desa Bijeli, 637 orang merupakan penganut agama Katolik sedangkan penganut agama Kristen hanya berjumlah 37 orang saja dari 5 kepala keluarga sedangkan pemeluk agama Islam, Hindu dan Budha, tidak ada. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam soal pendirian rumah ibadat, harus tetap memperhatikan umat pemakai rumah ibadat itu dan umat lain di sekitar lokasi berdirinya rumah ibadat tersebut. Belajar dari sejarah kesepakatan adat, agar tidak terjebak dalam kesalahan masa lalu. Ini untuk rasa aman dan terjaganya kerukunan di antara sesama warga Bijeli.
Atas dasar itu pula sejak kasus pengrusakan gereja oleh massa pada tahun 2013 lalu, sampai hari ini pembangunan gereja Betlehem masih dihentikan pembangunannya. Lalu untuk meredam situasi yang ada Kementerian Agama TTU pada tahun 2014 melakukan sosialisasi tentang PMB nomor 8 dan 9 tahun 2006 di Desa Bijeli. Pelaksanaan kegiatan ini dianggap sebagai upaya memberikan pemahaman yang komprehensif bagi semua masyarakat Bijeli tentang duduk persoalan pendirian Gereja Betlehem.
Melihat Gereja Betlehem dari Perspektif Keberagaman
Masalah Gereja Betlehem bukanlah masalah yang sama sekali baru. Kasus serupa terjadi di banyak daerah di Indonesia. Misalnya Gereja Sta. Teresa di Cikarang, Gereja Sta. Clara di Bekasi, Gereja St. Yoseph di Tanjung Balai Karimun, Gereja GBI di Tlogosari dan masih banyak contoh rumah ibadat lain yang dihentikan pembangunannya karena ada penolakan dari masyarakat sekitar. Umumnya masalah ini berakhir tanpa solusi dan rumah ibadat tersebut tak kunjung rampung alias terbengkalai.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertama, kesimpulan sederhana yang bisa diambil adalah karena masyarakat sekitar terbiasa hidup secara homogen atau tidak terbiasa hidup berbaur dengan masyarakat yang beragam. Akibatnya ketika ada agama baru yang masuk di wilayah tersebut, mereka cenderung melihat hal itu sebagai sebuah ancaman. Ini mungkin cocok dengan kondisi masyarakat desa Bijeli yang hampir 100 % beragama katolik. Namun jika dilihat dari sejarah masuknya Umat Kristen Protestan di Desa Bijeli, asumsi tadi bisa dipatahkan karena menurut informasi yang kami dapatkan bahwa pada saat peletakan batu pertama Gereja Betlehem tidak ada kendala yang ditemui bahkan semua stake holder hadir dan memberi dukungan.
Kedua, karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang keberagaman. Akibatnya masyarakat gampang diprovokasi oleh oknum – oknum tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan – tindakan yang melanggar KBB demi kepentingan – kepentingan pribadi tertentu, atau pun kepentingan – kepentingan yang bersifat politis.
Ketiga, karena pemerintah daerah setempat tidak membuat peraturan – peraturan atau kebijakan di di tingkat lokal yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di daerah sebagai acuan untuk pembangunan rumah ibadah. Akibatnya lagi – lagi PBM 2 Menteri no 8 dan 9 tahun 2006 selalu menjadi rujukan menerbitkan IMB yang mana kita tahu bahwa PBM ini cenderung menguntungkan mayoritas. Menurut pengamatan kami, Kabupaten TTU memang tidak pernah menerbitkan Perda yang mengatur tentang pendirian rumah ibadah. Karena itu kasus yang menimpa Gereja Betlehem selalu merujuk pada PBM sehingga pengurus gereja harus pontang panting mengurus ulang semua dokumen untuk bisa melanjutkan pembangunan gerejanya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari lapangan pada September 2021 ini jemaat gereja berjumlah 42 orang yang tersebar di beberapa titik, salah satunya di Desa Bijeli. Alasan pendirian tempat Ibadah ini pun untuk menjangkau para jemaat yang tinggalnya berjauhan. Namun jumlah ini tentu masih jauh dari syarat yang termuat dalam PBM yang mana mensyaratkan minimal 90 orang pemeluk dan dukungan dari masyarakat setempat 60 orang. Walaupun demikian mereka terus berupaya untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak agar gereja tersebut dapat dirampungkan.
Advokasi dan Rekomendasi
Melihat persoalan yang ada, CIS Timor, Komunitas Peacemaker Kupang (KOMPAK), dan Komunitas Peacemaker Perbatasan (KOMPAS) sejak awal tertarik untuk mangadvokasi jemaat ini agar mereka bisa menemukan kejelasan tentang nasib gereja mereka. Ada pun upaya – upaya yang dilakukan antara lain mengadakan pertemuan dengan komunitas korban, mendampingi komunitas melihat progres pengurusan dokumen, dan mediasi dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FORKOMPINDA)). Sejauh ini sudah dua kali dilakukan Pertemuan mediasi.
Melalui mediasi FORKOMPINDA Kabupaten Timor Tengah Utara pada akhir tahun 2019 lalu tetap pada hasil akhir mengikuti rekomendasi dari Tim Lima ( 5) yang di bentuk sebelumnya memutuskan bahwa Pembangunan Gereja dihentikan sementara sambil mengurus dokumen-dokumen pelengkap untuk diterbitkannya rekomedasi, tetapi ibadah tetap dilaksanakan seperti biasa. Saat ini Jemaat di Gereja Betlehem Oeluan Desa Bijeli tetap melakukan ibadah di Gereja yang belum selesai pengerjaan dengan kondisi apa adanya.
Atas dasar itu ada beberapa rekomendasi dibuat yakni:
- Pemerintah Pusat hendaknya meninjau kembali Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 (PBM) dengan memperhatikan atau menyederhanakan peraturan tersebut pada tingkat daerah atau lokal.
- Pemerintah Daerah hendaknya mendorong stake holder lokal membuat turunan PBM yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan di tingkat daerah. Untuk hal ini kita bisa mencontoh apa yang sudah dibuat oleh daerah lain. Salah satu daerah yang sudah melakukan hal ini adalah Kota Kupang. Melalui Gerakan Kampanye Komunitas Orang Muda Lintas Agama Kota Kupang (KOMPAK) bersama jaringan , FKUB Provinsi dan Kota beserta Pemerintah Kota telah menerbitkan PERWALI tentang pendirian rumah ibadah. Perwali ini bertujuan memfasilitasi warga untuk beribadah termasuk memudahkan umat beragama yang tidak banyak jumlahnya agar bisa membangun rumah ibadah.
- Perlu adanya pembentukan Komunitas Pemuda Lintas Agama di daerahnya. Hal ini bertujuan mendorong para pemuda untuk keluar dari pola pikir yang homogen, mau berbaur dengan sesama yang berbeda keyakinan serta pada akhirnya bisa memiliki pemahaman yang luas tentang keberagaman.