Belajar Rukun Itu di Belu
Redemptus De Sales Ukat, S.Fil
(Pemuda Komunitas Peacemaker Perbatasan/ KOMPAS Belu)
Dalam sebuah kesempatan pada tahun 2017, mantan wakil bupati Belu J. T Ose Luan pernah berujar: “Belajar rukun itu di Belu”. Perkataan beliau itu mungkin terkesan membesar – besarkan tetapi itulah kenyataan yang terjadi. Di tengah maraknya kasus intoleransi di Indonesia yang kian hari kian menantang, masyarakat Belu hidup rukun – rukun saja tanpa ada persoalan yang bersinggungan dengan SARA. Padahal kabupaten Belu bukanlah kabupaten yang homogen atau hanya terdiri atas satu agama atau satu suku saja. Kabupaten Belu termasuk kabupaten yang majemuk yang terdiri atas berbagai agama, suku, golongan dan ras.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), 2014-2015 yang bersumber dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Belu, dari 201.973 jiwa penduduk Belu, ada 181.518 orang beragama Kristen Katholik, 13.511 orang Kristen Protestan, dan 6.358 orang Islam. Ada pula pemeluk agama Hindu sebanyak 5336 orang dan Budha 23 orang. Hal ini menunjukan bahwa sekalipun orang Belu hidup di tengah kemajemukan mereka mampu menjaga kerukunan dan persatuan di antara mereka.
Apa yang disampaikan oleh J. T Ose Luan juga bukanlah isapan jempol belaka. Beberapa tokoh umat muslim mengakui hal ini. Mereka bahkan menuliskan dengan sangat indah bagaimana orang Belu mempraktekan toleransi. Abdul Masli misalnya, dalam sebuah artikel berjudul “Menjadi Minoritas Memahami Toleransi” yang diterbitkan pada tahun 2019, menguraikan secara gamblang kehidupan masyarakat Kabupaten Belu yang penuh toleransi.
Ia menulis dengan sangat indah bagaimana orang Belu mempraktekan toleransi dalam kehidupan sehari – hari terutama dalam memperlakukan sesama yang tidak seiman dengan mereka. Ia bahkan secara terang – terangan mengatakan ia menemukan toleransi terbaik di kabupaten Belu. Hal itu ia ungkapkan ketika dalam sebuah acara pesta pernikahan, Ia dan beberapa teman muslimnya diperlakukan secara istimewa. Mereka diberikan sebuah tempat khusus untuk mengambil makanan yang mana semua makanannya adalah makanan halal dan disembelih oleh sesama muslim untuk menjaga kehalalan makanan tersebut. Ia tidak menduga bahwa apa yang dibuat masyarakat ini adalah sebuah budaya yang dipraktekan di semua acara pesta di Kabupaten Belu.
Selain Abdul Masli, Jumardi salah ustaz di Masjid Hidayatullah Atambua pun pernah berkata: “Di sini (Atambua) kita masyarakat majemuk, Muslim memang minoritas karena masyarakat asli beragama Kristen. Tapi kehidupan toleransi beragama sangat bagus, terutama enam sampai tujuh tahun belakangan ini. tidak ada gangguan bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah. Bahkan kita juga bebas mengumandangkan azan dengan menggunakan pengeras suara”.
Ia pun menjelaskan bahwa menjaga kerukunan beragama di sini sangat penting. Diskusi lintas agama sering dilakukan sebagai wadah bertukar pikiran dan menjaga kerukunan antar warga. Setiap ada kegiatan keagamaan, khususnya Islam, pemuda dan tokoh lintas agama diundang untuk berpartisipasi menjaga kelancaran kegiatan tersebut. Begitu pun sebaliknya, ketika umat kristiani menjalankan ibadah, maka umat Islam ikut menjaga keamanan. Contohnya lebaran saat ini dihadiri oleh kumpulan lintas agama dari Protestan, Katolik dan agama lainnya. Mereka bantu Pengepakan dan distribusi daging. Kegiatan – kegiatan seperti ini menjadi momentum mempererat toleransi di sini.
Tak berbeda jauh dengan kedua tokoh muslim tadi, Joko Tri Haryanto dalam Jurnal Analisa berjudul Pelayanan KUA Terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur menulis hal yang kurang lebih sama. Ia menulis: “Sekalipun umat Islam di Kabupaten Belu minoritas, tetapi dalam hal kerukunan umat beragama berjalan dengan baik. Tidak ada pertikaian antar umat beragama atau pun pertikaian karena bermotif agama berskala besar dalam tahun – tahun terakhir ini. bahkan banyak tokoh muslim yang respek terhadap sikap umat Katolik, termasuk tokoh – tokohnya karena meskipun mereka kelompok mayoritas, tetapi mereka menghormati dan bahkan melindungi umat non-katolik termasuk umat Islam.”
Pengakuan – pengakuan ini tentu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi orang Belu atas upaya menjaga toleransi di tapal batas negeri. Namun pada saat yang sama kita tidak boleh menjadi besar kepala. Ini adalah sebuah tantangan tersendiri bagi kita untuk tetap mempertahankan dan menjaga agar toleransi tetap tumbuh dan berakar serta pada akhirnya menjadi budaya yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita di kemudian hari.
Referensi:
- Joko Tri Haryanto, “Pelayanan Kua Terhadap Persoalan Keagamaan Di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur,” Dalam Analisa Volume XVIII, No. 02, Juli – Desember 2011, p. 264 – 265.
- https://baktinews.bakti.or.id/artikel/menjadi-minoritas-memahami-toleransi
- https://news.act.id/berita/momentum-pererat-toleransi-beragama-di-atambua
- https://news.detik.com/berita/d-3481794/belajar-kerukunan-di-tapal-batas-ri-timor-leste