Ancaman Pluralisme di Indonesia, Apa Solusinya?

Ancaman Pluralisme di Indonesia, Apa Solusinya?

Oleh Redemptus De Sales Ukat,S.Fil

(Pemuda Komunitas Peacemaker Perbatasan)

 

Negara Indonesia lebih dikenal sebagai negara yang pluralis. Sebagai negara yang pluralis Indonesia berdiri di atas keanekaragaman yang mencakupi hampir seluruh sendi kehidupan masyarakatnya. Secara geografis saja, Negara Indonesia dibentuk oleh bentangan pulau – pulau yang beranekaragam. Keadaan geografis yang yang berbeda – beda ini kemudian menciptakan kebudayaan yang berbeda – beda pula. Budaya yang berbeda ini juga dihidupi oleh etnis yang berbeda – beda dengan ciri khasnya masing –masing. Lantas pada jaman penyebaran agama – agama besar di dunia seperti Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, setiap etnis menerima agama sesuai dengan kebiasaan daerahnya. Akibatnya terjadi pula pluralitas agama di Indonesia.

Pluralitas yang dimiliki Indonesia pada awalnya adalah kekayaan bangsa, tetapi lama kelamaan menjadi “bumerang” bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Sebab ancaman disintegrasi bangsa selalu membayangi. Berbagai hal mengancam kesatuan bangsa Indonesia, mulai dari hal – hal yang berkaitan dengan persoalan kedaerahan, keagamaan, sampai hal – hal yang berkaitan dengan ideologi, konsep dan pandangan hidup yang dianggap berbeda.

Menurut saya ada tiga  alasan utama melatar-belakangi hal ini. Pertama, karena pudarnya narasi kebangsaan yang pernah mempersatukan pluralitas di Indonesia. Yang dimaksud dengan narasi kebangsaan di sini adalah suatu pandangan yang melihat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar yang memiliki sejarah dan asal – usul yang sama. Pada jaman kemerdekaan, narasi inilah yang menyatukan bangsa Indonesia dan membentuk negara Indonesia. Para pejuang berdarah – darah di medan tempur, menanggalkan identitas diri, agama, suku, bahasa dan golongan demi merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah.

Apa indikasi pudarnya narasi kebangsaan? Indikasinya banyak sekali. Salah satunya adalah munculnya organisasi – organisasi masyarakat (Ormas)  yang menganut paham radikalisme. Ormas – ormas ini tidak menerima adanya narasi kebangsaan. Mereka melihat bahwa narasi kebangsaan justru memperlemah upaya mereka untuk melebarkan sayap dan pengaruhnya. Mereka hanya menginginkan bahwa negara ini menjadi negara satu agama saja dan menolak kehadiran agama lain yang dianggapnya sebagai musuh. Karena itu mereka menebarkan hoax di mana – mana, propaganda sana – sini, mendiskriminasi agama – agama minoritas serta yang mengerikan adalah melakukan aksi –aksi teror seperti bom bunuh diri di gereja, hotel dan di obyek – obyek vital lainnya.

Kedua, karena lahir sebuah sikap destruktif yang mengacaukan pandangan bangsa yakni prasangka buruk atau prejudice. Dengan adanya sikap ini, muncul oknum – oknum yang memandang bangsa Indonesia tidak secara keseluruhan tetapi secara terkotak – kotak berdasarkan kriteria – kriteria yang melekat pada identitas dirinya. Sikap ini memaksa kita melihat secara a priori tanpa didukung bukti apa pun dan cenderung negatif disertai dengan tindakan – tindakan diskriminatif.

Dalam kehidupan beragama prejudice telah berhasil melahirkan konflik – konflik besar di Indonesia sebagai contoh Konflik Ambon dan Konflik Poso. Dua konflik ini menelan korban jiwa yang sangat banyak, kerugian materil yang tidak terhitung, trauma psikologis anak – anak yang berkepanjangan dan menguatnya sentimen agama dalam kehidupan bersama.

Ketiga, kaum muda saat ini sedang mengalami degradasi moral, terlena dengan kesenangan dan lupa akan tanggung jawab sebagai seorang pemuda. Dalam kehidupan setiap hari kaum muda tidak lagi memberi contoh dan teladan kepada masyarakat sebagai kaum terpelajar tetapi lebih sering melakoni kebiasaan yang berorientasi pada kesenangan semata. Selain itu kaum muda juga sering menjadi provokator  yang meledakan konflik antar agama. Tercatat kasus kasus Ambon dan Poso adalah konflik agama yang dipicu oleh ulah kaum muda yang tidak bertanggung jawab.

Masalah lain yang menghinggapi kaum muda adalah lemahnya pemahaman mereka terhadap ajaran agama. Mereka jarang berdoa, jarang ke gereja atau masjid tetapi sok – sokan membela kebenaran agama. Apabila kita menelusuri dinding – dinding media sosial seperti facebook dan twitter dan lain – lain kita pasti akan menemukan ribuan kata – kata provokasi yang bertujuan menebar suara kebencian terhadap agama lain. Ini adalah bahaya laten yang bisa memicu konflik.

Atas dasar itu saya berpikir bahwa kita mesti berbenah. Apa yang mesti kita benahi? Menurut saya ada 3 hal yang bisa kita lakukan. pertama, Kita harus menghidupkan kembali dan memperkuat Narasi Kebangsaan dalam kehidupan setiap hari bahwa kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia adalah hasil usaha bersama semua agama dengan peran yang berbeda dan unik. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak bisa kita sangkal apalagi sengaja kita lupakan.

Kedua, Kita harus melakukan dialog antar agama secara intens dan  membiasakan diri untuk hidup berbaur dengan agama lain. Tujuannya adalah setiap agama saling memahami satu sama lain sehingga tercipta hubungan yang harmonis. Sebab kurangnya kontak dan komunikasi biasanya menciptakan kecurigaan dan permusuhan.

Ketiga, mengajak kaum muda untuk menyadari hakekatnya yang sebenarnya. Kaum muda seharusnya berperan sebagai aset masa depan, agen perubahan, kekuatan moral dan pemecah masalah. Hal ini tidak bisa ditawar – tawar. Sebab kaum muda pejuang akan menghasilkan bangsa yang kokoh di masa depan. Kaum muda pesimis akan menghasilkan bangsa yang pecundang dan kaum muda hura – hura akan menghasilkan bangsa yang kacau balau. Tentu kita mau bangsa Indonesia semakin kokoh dari waktu ke waktu maka dari itu kita butuhkan mental kaum muda pejuang di bumi ibu pertiwi ini yang siap berperan sebagai aset masa depan, agen perubahan, kekuatan moral dan pemecah masalah.

Share your love
Avatar photo
TeiceBenu
Articles: 10

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *