Oleh Anato Moreira
Atambua adalah nama Ibu kota dari Kabupaten Belu, Nusa Tengara Timur. Karena letaknya berada di perbatasan Indonesia dan Timor Leste maka Atambua juga merupakan salah satu gerbang utama menuju Ibu kota Negara Timor Leste. Di kabupaten Belu terdapat beberapa potensi risiko bencana yang tiap tahunnya bisa terjadi, yaitu tanah longsor, angin kencang dan banjir. Banjir sendiri terjadi di beberapa Desa yang berada di dataran rendah, sehingga Ketika terjadi hujan deras maka luapan sungai kecil yang berada di desa-desa tersebut menimbulkan banjir, desa-desa yang rentan terkena banjir di Atambua adalah Desa Fatuketi, Desa Silawan, Desa Jenilu, dan Desa Kenebibi. Meskipun dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana ini kecil namun sangat berisiko untuk kelompok-kelompok rentan yang berada di desa-desa tersebut.
Pada tahun 2017 CIS Timor dan HIVOS melakukan kerja sama dalam sebuah program bernama Youth Voice for Inclusive Borders di Atambua, tepatnya di Desa Silawan dengan durasi program tiga tahun, menyasar kepada kelompok orang muda yang dinamakan Community Organizer atau mengorganisir komunitas pemuda dengan sebutan nama program “Suara Pemuda Perbatasan Inklusif”. Program ini untuk mengangkat kapasitas orang muda dalam memajukan desanya dengan memperhatikan dan mengadvokasi kebutuhan kelompok rentan, yaitu kelompok perempuan, lansia dan disabilitas.
Salah satu advokasi yang dilakukan oleh kelompok orang muda ini adalah bagaimana dana desa bisa dialokasikan bagi kelompok-kelompok rentan seperti kelompok perempuan, lansia dan kelompok disabilitas di tahun anggaran 2019. Proses ini sangat jarang terjadi bahkan hampir tidak ada di kabupaten Belu, bagaimana pemuda terlibat untuk mengadvokasi kegiatan-kegiatan yang mengorganisir kelompok rentan untuk dimasukan dalam perencanaan Musyawarah Dusun, Musyawarah Desa dan Musrenbangdes. Sehingga hal Ini merupakan satu capaian positif bagi kelompok orang muda di desa Silawan yang didampingi oleh CIS Timor. Dalam prosesnya pemuda mempunyai peran untuk membantu pemerintah desa dalam proses pembangunan desa, salah satu peran pemuda ini adalah membuat petaan sosial di dusun dan juga melakukan pendataan bagi kelompok disabilitas di 10 dusun desa Silawan.
Di Desa Silawan sendiri jumlah kelompok disabilitas mencapai 45 orang, lansia 102 orang dan kepala rumah tangga perempuan 164 orang. Jumlah ini tidaklah sedikit dalam satu wilayah pedesaan yang tidak sebanding dengan banyaknya bangunan yang belum aksesibilitas. Di desa Silawan sendiri akses publik yang ramah kepada penyadang disabilitas adalah Puskesmas, kantor desa dan Pos Lintas batas Negara, sedangkan beberapa fasilitas publik lainya seperti sekolah, posyandu, balai dusun, pasar dan tempat ibadah, masih belum aksesibilitas.
Sejak saya bekerja di CIS Timor pada tahun 2003 sampai saat ini, yang saya dapati dalam realita kehidupan sehari–hari baik secara individu maupun di komunitas adalah kelompok-kelompok Inklusi ini belum dianggap menjadi kelompok yang perlu diperhatikan khusus atau logikanya kebutuhan mereka tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting atau biasa-biasa saja. Padahal jumlah kelompok inklusi makin bertambah dan perlu adanya penangan khusus.
Secara pribadi dalam hal memperhatikan kelompok inklusi saya belum mempunyai kapasitas yang penuh untuk memahami lebih dalam tentang sebuah kelompok yang inklusi, sehingga yang bisa saya lakukan secara gambaran umum adalah melibatkan mereka dalam program-program yang selama ini berjalan seperti pelibatan dalam diskusi, dan pertemuan-pertemuan lainnya di desa. Hal lain yang membuat saya merasa belum mempunyai kapasitas yang mumpuni dalam memperhatikan kelompok inklusi adalah bagaimana memberi pemahaman kepada orang-orang di lingkungan tempat saya tinggal tenatang kelompok-kelompok inklusi yang berdampingan dengan kami. Perasaan yang kuat ingin membantu namun kapasitas yang dimiliki terbatas.
Saya mulai memahami tentang Inklusi Knowledge semenjak bergabung dengan teman-teman program, walau tidak seratus persen mengetahui secara utuh, namun dari situlah saya bisa sedikit berbicara kepada teman-teman kelompok inklusi baik lewat diskusi formal maupun informal di tingkat desa dan lingkungan di mana saya tinggal.
CIS Timor sendiri adalah sebagai lembaga belajar di mana banyak orang bisa mengetahui program-program inklusi dan menyebarluaskan itu kepada masyarakat sekitar dan di komunitas dampingan. Secara pribadi dengan berbekal sedikit pengetahuan atau transfer ilmu yang saya miliki, saya semakin percaya diri untuk berbicara terkait kelompok inklusi di depan keluarga, di lingkungan sekitar dan di komunitas dampingan, meskipun CIS Timor sudah tidak lagi secara khusus berprogram terkait kelompok Inklusi. Ini menjadi bagian advokasi pribadi yang saya lakukan untuk memperjuangan kelompok inklusi di mata masyarakat dampingan secara khusus dan Kabupaten Belu secara umum.
Saya berpikir praktik baik dalam kerja-kerja CIS Timor terkait kelompok Inklusi sejauh ini sudah banyak memberikan dampak positif dan sampai saat ini masih tetap terus berjalan. Salah satu contoh lainnya adalah program ATUP kerja sama CIS Timor bersama Oxfam pada tahun 2007-2008 yang didanai oleh Uni Eropa (EU). Program ini terdiri dari tiga aktivitas pokok seperti: Action Planing, Food Security dan Public Health Promotion. Dalam Perencanan awal relawan CIS Timor bersama komunitas sudah merencanakan lewat Participatory Learning Apraisal (PLA) dengan melibatkan kelompok Inklusi: lansia, disabilitas, dan kelompok perempuan. Menentukan letak dan design kamar mandi dengan memperhatikan kelompok rentan, Water Closed (WC) dengan jarak-jaraknya, posisi letak rumah antara kelompok inklusi dangan mereka yang bukan kelompok inklusi diputuskan lewat kegiatan PLA tersebut.
Bagi saya, ini adalah salah contoh kecil saat saya bekerja dengan CIS Timor untuk penanganan warga eks Timor-Timur. Di mana saat itu proses sosialnya diutamakan sebelum diimplementasikan dalam program. Strategi untuk mencapai contoh kecil tadi adalah kita diberikan pengetahuan terkait kelompok yang rentan dalam implementasi program dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan khusus terkat ini. Kemudian kita implementasikan ini secara langsung di komunitas.
Memang proses yang dilakukan dulu tidak sedetail yang dilakukan sekarang, dulu dengan melakukan perencanaan dan pembangunan dengan skala kecil pembangunan fisik. Hal yang dilakukan sekarang adalah bagaimana pengetahuan inklusi diterapkan dalam advokasi kebijakan di desa dan Kabupaten, contoh kecil di desa kita mengadvokasinya lewat kebijakan anggaran desa dan juga di Kabupaten lewat Dinas terkait.
Tapi yang paling terpenting adalah saat ini yang saya lakukan adalah bagaimana komunitas dan masyarakat di Kabupaten Belu memahami bahwa kelompok inklusi ini adalah kelompok yang perlu dan serius diperhatikan dalam pembangunan di segala bidang. Ketika semua orang tingkat pemahamanya tentang inklusi meningkat maka secara otomatis baik di pemerintahan maupun di masyarakat, akan terjadi perubahan perlaku dalam pembangunan relasi sosial dan infranstruktur yang aksesibilitas.
Harapan saya adalah transfer pengetahuan yang ada dari tingkat atas sampai bawah harus ditingkatkan secara masif dan perlu untuk memasukan pendidikan inklusi ke dalam kurikulum dalam Satuan Pendidikan, baik formal maupun non formal, dan perlu adanya diskusi integrasi inklusi dalam berbagai lintas isu.