“Saya tidak pernah berpikir bahwa nanti akan buka PAUD disini. Tapi ketika saya lewat satu kali anak main tanah, dua kali main tanah, tiga kali main tanah, muncul itu visi dalam doa puasa, tetap berdoa, menjangkau yang tidak terjangkau”
“Beta (saya) ni dulu cita-cita jadi Polwan kaka. Cuma nakal pung kerja sa! Beta ketinggalan kapal laut waktu mau berangkat Pendidikan Polisi ke Bali gara-gara mabok.”
(“Saya dulu punya cita-cita jadi polwan, kak. Hanya karena saya nakal, sehingga saya ketinggalan kapal laut saat akan berangkat Pendidikan Polisi ke Bali, karena mabuk”), ujar Pdt. Sherly Amalo, diikuti dengan tawa renyahnya.
Pendeta yang energik ini selain sebagai gembala gereja, juga berperan sebagai pengelola dari PAUD Pelita Kasih yang beralamat di Dusun III Desa Tuadale, Kampung Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat. Jika kebanyakan orang beranggapan bahwa seorang pendeta, pastilah berbicara dengan banyak makna kiasan, tidak akan kita temukan pada perempuan paruh baya berambut pendek ini. Pdt. Sherly Amalo sangat lugas dan tegas dalam bicara dan tindakannya, mungkin karena cita-citanya sebenarnya adalah menjadi seorang Polwan.
Ibu Pdt. Sherly pertama kali di tugaskan ke desa Tuadale pada tahun 2012. Ia meninggalkan Gereja gembalaannya yang berlokasi di Kota Kupang untuk melayani di Desa Tuadale ini. Selama 2 tahun ia melayani di desa ini, beliau akhirnya memutuskan untuk membuka PAUD di gerejanya, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Siloam. Saat ini, PAUD tersebut memiliki 31 orang murid, tetapi menurut Mama Pendeta, kehadiran dari anak-anak ini di PAUD tidak cukup signifian.
“Nah, memang kondisi lingkungan seperti ini, jadi 31 anak itu yang hadir paling belasan (“jadi dari 31 anak yang ada, biasanya yang hadir jumlahnya belasan anak”). Tapi kalau ada tamu begini, semua datang. Itu penyakitnya.”, ujar beliau menggebu-gebu.
Selain adanya tantangan dari lingkungan masyarakat yang menurut beliau belum sadar akan pentingnya pendidikan, Mama Pendeta juga mengungkapkan kesulitannya untuk mendapatkan tenaga pendidik yang cukup
baik untuk mendukung Visi & Misi sekolah, yaitu “Kami melangkah bukan karena kami tetapi karena Tuhan” dan “menyiapkan generasi yang cerdas dan profesional”.
Ibu Pendeta bersama dengan salah seorang gurunya, Ibu Helena Habile terlibat dalam pelatihan guru dalam project Pendidikan Inklusif tahun 2017. Project Pendidikan Inklusif sendiri pertama kali berkenalan dengan Mama Pendeta dan PAUD Pelita Kasih karena direkomendasikan oleh bapak Pither Kaseh, Kepala Bidang Pendidikan Anak Usia Dini Dinas pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kupang. Menurut Bapa Pither, begitu sapaan akrab beliau, di PAUD ini memiliki anak didik berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan disabilitas.
Pernyataan tersebut ternyata memang benar; saat Tim mengunjungi PAUD ini di awal project dan bertemu dengan Ibu Pendeta, tim diperkenalkan dengan dua orang anak diantara anak dengan disabilitas lainnya yang bersekolah di PAUD tersebut, yaitu Joshua dan Kevin. Selain itu, Mama Pendeta juga menceritakan bahwa ada salah seorang siswanya yang sudah lulus, tetapi ditolak untuk bersekolah di Sekolah dasar terdekat (SDI Tuadale), karena guru wali kelasnya ‘terlanjur’ menolak dengan kondisinya. Saat itu, mama Pendeta mengatakan bahwa ia kembali menerima Rizki untuk kembali bersekolah di PAUD Pelita Kasih sampai sekolah mau menerima dia kembali.
“Orang tuanya datang, karena bilang waktu dia pergi ke sekolah dan dia mau buang air besar, jadi rasa bau begitu. Nah, guru yang lama akhirnya suruh pulang. Jadi orangtuanya omong dengan beta (saya) di depan, bahwa ini Rizki tidak di terima di atas (Sekolah Dasar, red). Jadi sudah, pintu (disini, red) tetap terbuka”, cerita beliau.
Dalam pelatihan tentang pengenalan pendidikan inklusif, Mama Pendeta adalah salah satu peserta yang meminta kesempatan untuk dapat diikutkan kembali dalam pelatihan guru lanjutan, yakni Manajemen Kelas Inklusif (pedagogik). Setelah mengikuti pelatihan tersebut, beliau kembali mengingat tantangan yang ada di desanya, sehingga ia pun mengundang kembali para fasilitator (Pak Budi Suwarso dan Kak Johana Manubey) dan tim Proyek Pendidikan Inklusif untuk menggunakan momen ibadah raya di Hari Minggu, 29 Oktober 2017, untuk menjelaskan kepada para jemaat dan orang tua murid tentang disabilitas, anak berkebutuhan khusus, dan pentingnya untuk menyekolahkan mereka.
Pasca melakukan sosialisasi, tim berkesempatan untuk bercengkrama dengan Mama Pendeta tentang apa saja yang telah dilakukan setelah mengikuti pelatihan pendidikan inklusif bagi Guru yang dilaksanakan oleh Handicap International pada bulan Agustus 2017 yang lalu.
“Penataan ruangan (kelas). Itu kita ganti-ganti,”, ujar beliau.
Selain itu, juga tentang kebiasaan beliau untuk menjemput setiap anak-anak yang tidak datang ke sekolah menggunakan motor pribadinya.
“Jadi saya sudah sampaikan kepada orangtua. Saya berpikir bahwa yang saya lakukan selama ini adalah baik. Tapi, ternyata dalam pelatihan itu saya di tegur langsung oleh Pak Budi. Saya (dulu) suruh pi (pergi) jemput. Saya komitmen pergi jemput anak, kasih mandi. Ternyata pak Budi bilang tidak boleh, nanti anak itu tidak bisa dewasa. Ah, itu yang saya terpukul disitu. Saya pikir-pikir.. Apa tidak berseberangan? tapi ternyata saya juga pikir, itu betul. Kalau itu yang saya lakukan, betul dia tidak bertumbuh. Tapi bukan berarti pisahkan. Saya tangkap apa kata pak Budi. Termasuk rangkul, peluk anak. Di sekolah ini, apapun kebutuhan anak, bahkan kalau ingus meleleh pun kami seka. Dulu, yang begitu Saya tidak bisa. Saya tidak bisa. Tapi selama urus sekolah ini, saya belajar untuk mau ada pada level bawah. Sekarang libatkan orang tua Murid. Karena itu bagian mereka kan?”, cerita beliau bersemangat.
“Kakak Lihat alat bantu mengajar yang punya kakak Ona, lihat, cocokkan dan tempelkan itu? Itu beta su pake (itu sudah saya pakai).”, tambahnya kemudian.
Mama Pendeta lebih dikenal dengan panggilan oma oleh anak-anak didiknya, terkenal suka sekali menyapa orang-orang dari rumah ke rumah dan menanyakan kabar mereka ini, ternyata baru tahu juga kalau ada dana pendidikan di dalam dana Desa.
“Jujur kaka. Saya buka PAUD ni hanya modal nekat saja. Saya pikir nanti setelah urus akta notarisnya, nanti gurunya di siapkan oleh Dinas. Baru abis itu beta (saya) tau kalau Guru juga beta yang cari. Adoh! Bagaimana sudah?? Tapi yaahh.. Sudah terlanjur. Sonde boleh mundur lai toh?(tidak boleh mundur lagi)”).”
Beliau menceritakan betapa sebenarnya beliau hanya bermodalkan kenekatan, sehingga banyak hal yang tidak ia ketahui dan perlu berproses di dalamnya, termasuk dengan informasi untuk mengakses dana desa yang baru ia ketahui saat mengikuti pelatihan guru bersama dengan Handicap International tahun 2017 ini. Setelah dari pelatihan, Ibu Pendeta melakukan pendekatan dengan istri kepala desa, dan kepala desa Tuadale, hingga akhirnya mereka mendapatkan bantuan sebesar Rp. 600.000,- dari dana ADD untuk pengganti transport bagi gurunya. Bagi beliau, bukan tentang besar jumlahnya, tetapi bahwa komitmen itu yang perlu untuk di dapatkan. Dan mereka akan terus melakukan pendekatan serupa untuk mendapatkan dukungan dari Dana Desa untuk penyelenggaraan Pendidikan di PAUD Pelita Kasih.
Di akhir obrolan kami, dengan tatapan tegas ia menjawab sampai kapan beliau akan melakukan hal ini, mengelola PAUD ini, dan Melayani di Tuadale?
“Sampai mati kak.”, ucapnya.
(*Sischa Solokana)