LAPORAN WORKSHOP INDIKATOR DESA TANGGUH BENCANA KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN

LAPORAN WORKSHOP INDIKATOR DESA TANGGUH BENCANA KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN

So’e, 20 – 21 Agustus 2018

Ditulis oleh : Chasan Ascholani

 

RINGKASAN

Penilaian Desa Tangguh Bencana (DESTANA) yang dilaksanakan untuk 11 desa di Kabupaten TTS telah menunjukkan bahwa 5 desa telah mencapai kategori DESTANA Pratama, sedangkan 6 desa lainnya belum mencapai standar minimal capaian indikator DESTANA. Hasil penilaian tersebut telah digunakan untuk menyurun rencana aksi yang akan dilaksanakan oleh pemerintah desa dalam waktu 5 tahun ke depan. Secara umum, pemerintah desa akan melaksanakan 12 kegiatan untuk mencapai DESTANA, yaitu terkait kebijakan, pendanaan, relawan, forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB), kajian risiko, peningkatan kapasitas, kerjasama, pengelolaan sumberdaya alam, pemberdayaan ekonomi, infrastruktur, kesehatan, dan inklusi sosial.

Di samping itu, peserta workshop juga mengusulkan 15 kegiatan untuk pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), 6 kegiatan untuk pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dan 6 kegiatan untuk pemerintah nasional. Usulan kegiatan ini disampaikan dalam workshop di tingkat kabupaten yang dihadiri oleh perwakilan dari beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten TTS dan BPBD Provinsi NTT. Usulan tersebut juga menjadi salah satu rujukan dalam menentukan prioritas aksi PRB yang akan dimasukan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten TTS Tahun 2019-2023.

Untuk memastikan tercapainya banyak desa tangguh bencana di Kabupaten TTS, workshop merekomendasikan beberapa kegiatan untuk memperluas sasaran DESTANA, memastikan penggunaan dana desa untuk pelaksanaan kegiatan PRB di desa, membangun kerjasama antar desa dan kerjasama antar pelaku di Kabupaten TTS. Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) dan Forum PRB Kabupaten TTS memiliki peran penting untuk mensinergikan dan membangun kolaborasi untuk mewujudkan desa tangguh bencana.

  1. HASIL YANG DICAPAI

Hasil workshop dikategorikan dalam 4 bagian, yaitu (1) kesimpulan hasil diskusi panel, (2) hasil penilaian desa tangguh bencana, (3) rencana aksi pemerintah desa untuk mencapai ketangguhan, dan (4) usulan kegiatan kepada pemerintah kabupaten, provinsi, dan nasional untuk mendukung desa tangguh bencana. Rincian hasil pada masing-masing kategori ialah sebagai berikut:

  • Kesimpulan Hasil Diskusi Panel

Diskusi panel yang disampaikan oleh tiga orang narasumber, yaitu Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten TTS, Kabid Pemberdayaan Masyarakat Dinas PMD Kabupaten TTS, dan Manajer CIS Timor, menghasilkan 5 kesimpulan sebagai berikut:

  1. Kabupaten TTS memiliki 8 ancaman bencana yaitu kekeringan, banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan, dan lainnya. Akan tetapi, bencana kekeringan adalah yang paling sering dinyatakan sebagai darurat bencana kabupaten, karena memberikan dampak pada kekurangan air dan pangan di masyarakat.
  2. Pewujudan desa tangguh bencana, yang saat ini ditargetkan 50 desa sampai 2019, tidak bisa hanya dilaksanakan oleh BPBD saja. Perlu sinergi dari pemerintah, LSM, lembaga usaha dan pihak lain untuk saling bekerjasama. Sinergi ini bisa difasilitasi oleh Forum PRB Kabupaten TTS dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Disamping itu, Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) juga perlu diaktifkan agar rencana antar desa bisa singkron dan bersinergi dalam mengurangi risiko bencana berbasis kawasan.
Pembukaan workshop indikator desa tangguh bencana
  1. Terkait penggunaan dana desa untuk pengurangan risiko bencana (PRB), sudah ada Peraturan Bupati Nomor 14 Tahun 2017 sebagai rujukan. Dalam peraturan tersebut, ada kegiatan kesiapsiagaan menghadapi bencana alam, penanganan bencana alam, dan pelestarian lingkungan hidup, baik di bidang pembangunan maupun pemberdayaan masyarakat. Akan tetapi, hampir semua desa tidak mengalokasikan anggaran untuk kegiatan tersebut, karena isu penanggulangan bencana belum dianggap prioritas oleh desa. Diperlukan sosialisasi kepada para pendamping desa dan Kepala desa untuk kegiatan PRB di desa.
  2. Pengarusutamaan gender dalam penanggulangan bencana sudah diatur oleh Peraturan Kepala BNPB Nomor 13 Tahun 2014, untuk seluruh fase pra, saat, dan pasca bencana. Oleh karena itu, perlu ada indikator kesetaraan gender untuk mengukur perubahan dari waktu ke waktu. Untuk memastikan terlaksananya mandat peraturan tersebut, peningkatan kapasitas perlu diberikan kepada perempuan dan kelompok rentan lainnya, termasuk penyandang disabilitas dan anak.
  3. Untuk bisa menyusun rencana yang sinergis antara beberapa tingkatan pemerintah dalam membangun desa tangguh bencana, perlu diperjelas kewenangan desa, kabupaten, dan provinsi, terkait penanggulangan bencana. Sehingga, masing-masing tingkat pemerintahan dapat membuat rencana dengan lebih baik.
(Kiri-kanan) : Muchrizal Haris (Spesialis Knowledge Management), Adi Talo (Kalak BPBD TTS), Oki Laisnima (Ketua FPRB TTS), Iren Cahyani (Staf Karina), Chasan Ascholani (Konsultan Development)
  • Hasil Penilaian Desa Tangguh Bencana

Pada workshop indikator desa tangguh bencana yang dilaksanakan di Kabupaten TTS ini, terdapat 11 desa yang melakukan penilaian, dan hasilnya adalah 5 desa masuk kategori Desa Tangguh Pratama dan 6 desa masih belum masuk kategori Tangguh Bencana. Nilai tertinggi di antara 11 desa tersebut ialah 35, sehingga belum ada desa yang masuk kategori Desa Tangguh Madya [1]. [1]Untuk bisa dikategorikan Desa Tangguh Madya, nilai indikator minimal ialah 36. Rincian hasil penilaian untuk capaian indikator di masing-masing desa bisa dilihat di lampiran.

Secara lebih terinci, 5 desa yang masuk kategori Desa Tangguh Pratama mendapatkan nilai antara 20-35. Di sini bisa dilihat bahwa dengan tambahan 1 angka untuk Desa Netpala, maka akan masuk pada kategori Desa Tangguh Madya. Sedangkan 6 desa yang belum masuk kategori Desa Tangguh Bencana mendapatkan nilai antara 10-19. Dalam hal ini, Desa Boentuka yang mendapatkan nilai 19, dengan tambahan 1 angsa saja sudah bisa masuk dalam kategori Desa Tangguh Pratama. Sehingga, dengan adanya rencana aksi yang akan dilaksanakan oleh pemerintah desa dalam satu tahun ke depan, maka pada akhir tahun 2019, ketika dilakukan penilaian kembali terhadap 11 desa ini, setidaknya semuanya sudah bisa masuk kategori Desa Tangguh Bencana. Hasil penilaian untuk masing-masing desa digambarkan dalam grafik di bawah ini.

Dari sisi capaian 20 indikator Desa Tangguh Bencana, indikator ketahanan ekonomi adalah yang paling banyak dicapai oleh 11 desa yang mengikuti workshop (73% capaian atau rata-rata nilai 2,18). Melalui dana desa, semua pemerintah desa memiliki program pemberdayaan ekonomi untuk masyarakatnya, sehingga aktifitas ekonomi bisa berjalan dengan cukup baik. Indikator lainnya yang agak baik adalah kajian risiko, perencanaan, mitigasi struktural, partisipasi warga, dan pengelolaan sumberdaya alam yang mendapatkan capaian di atas 35% atau nilai rata-rata di atas 1. Sedangkan indikator yang paling rendah tercapai (di bawah 15% atau rata-rata di bawah 0,45) adalah perlindungan aset produktif dan peraturan terkait pengurangan risiko bencana. Rincian capaian masing-masing indikator dijelaskan dalam grafik berikut :

 

Tidak semua 20 indikator Desa Tangguh Bencana sesuai dengan karakter dan kewenangan desa yang ada di Kabupaten TTS. Proses diskusi bersama 11 desa yang mengikuti workshop ini menyimpulkan, terdapat 2 indikator yang kurang sesuai dan 4 usulan indikator baru yang belum ada di 20 indikator Desa Tangguh. Indikator yang kurang sesuai adalah:

  1. Karena banyak desa di Kabupaten TTS yang memiliki ancaman bencana utama ialah kekeringan, maka indikator terkait dengan peta, jalur dan sarana evakuasi tidak relevan dengan konteks ancaman kekeringan. Selama mengalami kekeringan yang hampir terjadi setiap tahun, warga desa tidak perlu untuk melakukan evakuasi, karena rumah tempat tinggalnya tidak rusak.
  2. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, satu-satunya perencanaan yang diakui di desa adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Oleh karena itu, indikator Desa Tangguh dalam bentuk Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) kurang relevan kalau tidak dimasukan dalam RPJMDes. Dengan demikian, indikator yang lebih tepat adalah RPJMDes yang memuat prioritas untuk pengurangan risiko bencana.
                                                                                                    Suasana Diskusi Panel desa tangguh bencana

Sedangkan usulan indikator baru yang belum termasuk dalam 20 indikator desa tangguh bencana ialah:

  1. Indikator terkait pendidikan anak di desa. Karena kewenangan desa dalam penyelenggaraan pendidikan adalah pada tingkatan pendidikan anak usia dini (PAUD), maka diperlukan indikator PAUD aman bencana. Hal ini untuk memastikan kesiapsiagaan bencana sudah diperkenalkan kepada anak-anak sejak pendidikan usia dini. Sekolah aman bencana (untuk sekolah dasar) bisa dijadikan indikator, tetapi dengan catatan melalui kerjasamana Desa denga Kabupaten.
  2. Indikator terkait kawasan perdesaan. Karena banyak bencana yang merupakan saling keterhubungan antar desa, misalnya pengelolaan kawasan hulu akan berdampak pada bencana banjir di desa-desa kawasan hilir, maka diperlukan indikator yang menunjukkan kerjasama antar desa dalam suatu kawasan rawan, seperti kerjasama antar desa dalam kawasan daerah aliran sungai atau antar desa dalam kawasan rawan bencana gunung api dengan desa di daerah aman.
  3. Indikator terkait dampak negatif dari bencana. Di desa, bencana terkadang membawa dampak buruk bagi masyarakat. Karena kehilangan rumah dan harta bendanya, sebagian masyarakat mungkin akan melakukan tindakan kriminal atau menjual aset produktifnya untuk bertahan hidup. Apabila bencana menimbulkan dampak negatif seperti ini, maka bisa dikatakan bahwa desa tersebut belum tangguh.
  4. Indikator terkait kearifan lokal. Di banyak desa, terdapat kearifan lokal untuk mengurangi risiko, membangun kesiapsiagaan, atau strategi bertahan ketika terjadi bencana. Misalnya di Kabupaten TTS terdapat Koa’ untuk peringatan dini dan rumah bulat untuk cadangan pangan keluarga. Ini adalah bentuk kearifan lokal untuk membangun kesiapsiagaan bencana. Oleh karena itu, perlu ada indikator yang bisa menunjukkan bagaimana kearifan lokal masyarakat desa untuk pengurangan risiko bencana.

 

Rencana Aksi Pemerintah Desa

Berdasarkan hasil penilaian indikator desa tangguh bencana, masing-masing desa menyusun rencana aksi untuk dimasukan dalam rencana pembangunan desa (RPJMDes dan RKPDes). Rencana ini dimaksudkan untuk mencapai indikator yang belum tercapai dan dianggap penting serta mendesak oleh pemerintah desa. Terdapat 9 desa yang mengikuti penyusunan rencana aksi tersebut, sedangkan 2 desa lainnya tidak mengikuti karena ada kegiatan lain. Rincian rencana aksi untuk masing-masing desa ialah sebagai berikut:

No. Nama Desa Ancaman Rencana Aksi Desa
1 Batnun Banjir dan Kekeringan 1.     Sosialisasi pembentukan tim PRB, relawan

2.     Pembangunan embung mini

3.     Sumur gali

4.     Jaringan perpipaan

5.     Bak PAH (penampungan air hujan)

6.     Bantuan peralatan untuk ibu hamil, lansia dan penyandang disabilitas

2 Linamnutu Banjir dan Longsor 1.     Sosialisasi kebijakan PRB masuk dalam Perdes

2.     Membentuk relawan desa dan dukungan peralatan

3.     Menjalin kerja sama antar desa

4.     Mengalokasikan dana desa untuk kegiatan PRB

5.     Pelatihan kebencanaan bagi aparat desa

6.     Pelibatan kaum perempuan sebagai relawan

7.     Bantuan peralatan untuk kelompok disabilitas ibu hamil dan lansia

3 Naip Kekeringan 1.     Pembuatan embung mini

2.     Pelatihan PRB Desa

3.     Reboisasi

4.     Pembentukan relawan PRB

5.     Pembentukan Forum PRB

4 Oekiu Kekeringan 1.     Pembentukan relawan

2.     Pengadaan alat-alat penanggulan bencana

3.     Sumur injeksi

4.     Bak PAH (penampungan air hujan)

5.     Penghijauan

6.     Embun mini

7.     Simulasi kesiapsiagaan bencana

5 Meusin Banjir, Longsor dan Kekeringan 1.     Sosialisasi masyarakat terkait PB

2.     Pembentukan tim relawan desa

3.     Pelatihan relawan PB desa

4.     Reboisasi

5.     Perdes perlindungan hutan

6.     Normalisasi kali tingkat dasar

7.     Embung mini

6 Boentuka Banjir, kekeringan dan Longsor 1.     Penetapan Perdes tentang kekeringan

2.     Memetakan lokasi rawan bencana

3.     Pelatihan terhadap pelaku PB

4.     Reboisasi lahan tidur

5.     Perlindungan mata air

7 Netpala Longsor dan Banjir 1.     Peningkatan kapasitan relawan KSB

2.     Pembuatan drainase TPT dan bronjong

3.     Reboisasi/penanaman pohon produktif di sepanjang DAS Benanain

4.     Draft Perdes perlindungan kawasan hutan

5.     Sosialisasi kepada kelompok rentan terhadap bencana (lansia, ibu hamil, penyandang disabilitas, balita)

6.     Dana khusus PB

8 Kuatae Longsor, Kekeringan dan Banjir 1.     4 km jalan baru

2.     Drainase untuk bahu jalan kiri-kanan 2360 M

3.     Pelatihan pertukangan bagi pemuda

4.     Pelatihan bagi kelompok souvenir

5.     Peningkatan kelompok tenun ikat

6.     Pelatihan BP BUMDES

7.     Reboisasi sumber mata air

8.     Pelatihan peningkatan kapasitas aparat desa

9.     Peningkatan jalan desa, drainase dan bronjong

10.  Pembangunan posyandu dan peralatan

11.  Perdes sanksi perusakan lingkungan

9 Fenun Longsor 1.     Membuat forum PB desa

2.     Pembentukan tim relawan PB desa

3.     Pelatihan untuk relawan dan aparat desa tentang kesiapsiagaan bencana

4.     Pembuatan bak tanam penampung air hujan

5.     Penanaman anakan pada mata air (perlindungan mata air)

 

                                                                                                   Mardy Tuaty (Distric Officer CIS Timor Kab.TTS)

Dari rencana yang disusun oleh 9 desa di atas, secara umum rencana aksi pemerintah desa dikelompokkan menjadi 12 usulan, yaitu:

  1. Kebijakan: penyusunan Peraturan Desa (Perdes) terkait pengurangan risiko bencana, dan kemudian disosialisasikan kepada masyarakat. Perdes ini merujuk kepada UU 24/2007, Peraturan Daerah Kabupaten TTS 4/2011, Permendesa 19/2017, Permendagri 20/2018, dan Perbup Kabupaten TTS 14/2017.
  2. Pendanaan: pengalokasian anggaran dana tak terduga (untuk tanggap darurat bencana) dan untuk pengurangan risiko bencana. Penggunaan dana tak terduga membutuhkan Surat Keputusan Bupati tentang status darurat bencana.
  3. Relawan: pembentukan, pelatihan, dan pengadaan peralatan untuk relawan penanggulangan bencana. Perempuan harus terlibat dalam tim relawan di desa.
  4. Forum PRB Desa: menambahkan fungsi forum pengurangan risiko bencana kepada Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) di desa
  5. Kajian risiko: pemetaan lokasi rawan bencana di desa
  6. Peningkatan kapasitas: pelatihan dan simulasi penanggulangan bencana untuk aparat pemerintah desa, relawan, dan masyarakat desa
  7. Kerja sama: membangun kerjasama antar desa yang berada dalam satu kawasan, seperti kawasan hulu dan hilir dalam daerah aliran sungai
  8. Pengelolaan sumber daya alam: penghijauan/reboisasi di lahan kritis dan daerah sekitar mata air
  9. Pemberdayaan ekonomi: pelatihan BUMDes, pelatihan usaha ekonomi seperti pertukangan, souvenir, dan tenun ikat
  10. Infrastruktur: pembangunan embung mini, normalisasi sungai kecil, sumur gali, drainase, bronjong, bak penampungan air hujan, dan jalan
  11. Kesehatan: pembangunan dan pemberian peralatan untuk posyandu
  12. Inklusi sosial: pemenuhan kebutuhan dan peralatan untuk penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya, seperti orang tua, anak-anak dll

 

Usulan Kegiatan kepada Pemerintah Kabupaten, Provinsi, dan Nasional

Selain menyusun rencana untuk desanya masing-masing, perwakilan pemerintah desa[1]dan pemangku kepentingan yang hadir dalam workshop seperti dari organisasi perangkat daerah Kabupaten TTS, LSM, dan organisasi masyarakat juga membuat usulan kegiatan untuk membangun desa tangguh bencana yang ditujukan kepada pemerintah kabupaten, provinsi, dan nasional. Usulan tersebut disesuaikan dengan kewenangan masing-masing tingkatan pemerintah. Rincian kesepakatan untuk kabupaten, provinsi, dan nasional ialah sebagai berikut:

Untuk pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan:
  1. Kebijakan: pengesahan Rencana Penanggulangan Bencana agar bisa dijadikan acuan dalam perencanaan pembangunan dan investasi
  2. Kelembagaan: pembentukan Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD)
  3. KLHS: penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk RPJMD Kabupaten
  4. Perencanaan: penyusunan Rencana kontinjensi ancaman bencana utama di Kabupaten TTS
  5. Pendanaan: alokasi dana tanggap darurat bencana
  6. Dukungan ke desa: sosialisasi pengurangan risiko bencana untuk tim asistensi penggunaan dana desa
  7. Kajian risiko: penyusunan profil daerah rawan bencana di semua kecamatan
  8. Kerjasama: sinergi dan singkronisasi program antar OPD di kabupaten dan juga antara lembaga pemerintah dan non pemerintah, serta antar pelaku dalam wilayah kawasan yang sama. Singkronisasi juga dilakukan untuk program dari pemerintah nasional. Kerjasama ini perlu difasilitasi oleh Forum PRB dan BPBD.
  9. Peningkatan kapasitas: sosialisasi produk hukum terkait penanggulangan bencana, pelatihan dan simulasi penanggulangan bencana untuk masyarakat dan para pelaku penanggulangan bencana sampai ke desa
  10. Inklusi sosial: pengarusutamaan isu PRB Inklusif ke dalam perencanaan dan penyelenggaraan penanggulangan bencana
  11. Desa Tangguh Bencana: peningkatan target Desa tangguh bencana di RPJMD, termasuk fasilitasi penilaian, penguatan relawan, sosialisasi, dan penyusunan peraturan di desa.
  12. Pengelolaan sumberdaya alam: reboisasi di lahan kritis dan di kawasan hulu daerah aliran sungai
  13. Sosial: pengusulan peserta jaminan kesehatan dan program keluarga harapan
  14. Infrastruktur dan sarpras: pemberian tangki air, normalisasi sungai, drainase, bronjong, pembangunan jalan, jembatan, penataan muara sungai, peralatan dan perlengkapan untuk penanggulangan bencana
  15. Pasca bencana: rekonstruksi infrastruktur penting setelah terjadi bencana
Untuk Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur:
  1. Kerjasama: koordinasi antara pemerintah dengan lembaga non-pemerintah yang bekerja pada isu penanggulangan bencana
  2. Peringatan dini: kerja sama untuk mendapatkan informasi peringatan dini dari BMKG
  3. Ekonomi: program pemberdayaan ekonomi, seperti pemberian alat dan pelatihan
  4. Pengelolaan sumber daya alam: reboisasi hutan dan lahan kritis, termasuk pemberian anakan pohon ke desa
  5. Infrastruktur: pembangunan cek dam, normalisasi sungai, sumur bor, saluran pipanisasi air bersih
  6. Aset: kejelasan penyerahan aset kepada pemerintah kabupaten dan desa
Untuk Pemerintah Nasional Republik Indonesia:
  1. Kerjasama: Integrasi program-program nasional yang ada di daerah dan desa, termasuk pemantauan pelaksanaannya
  2. Perlindungan: pemberian santunan kepada korban dan masyarakat terdampak bencana serta perlindungan aset utama masyarakat dari kerusakan akibat bencana
  3. Informasi risiko: sosialisasi INARISK kepada masyarakat dan pelaku penanggulangan bencana
  4. Sosial: peningkatan jaminan kesehatan dan program keluarga harapan
  5. Pertanian: keberlanjutan Program Taman Teknologi Pertanian
  6. Perizinan: pemberian ijin kepada lembaga-lembaga internasional yang bekerja di kabupaten TTS untuk penanggulangan bencana.***
Share your love
Avatar photo
Alain Oematan
Articles: 22

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *