16-18 Juli 2018 dan 01-03 Agustus 2018
Jumlah kejadian bencana alam di berbagai daerah memberi peringatan kuat bagi kita semua bahwa risiko bencana alam semakin besar, cepat, tak terduga dan masif. Setiap bencana selalu membawa kesedihan bagi para korban dan keluarga korban, menyebabkan kerugian bagi semua yang terkena dampak (sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan), dan menghambat kemajuan bagi kehidupan masyarakat. Penyebab bencana: kelalaian manusia, kerusakan ekosistem, dan faktor alam yang tidak dapat diprediksi. Oleh karena itu, harus ada upaya yang sistematis, terukur, terencana dan berkelanjutan dalam pengurangan, pencegahan, dan respons risiko bencana.
Bencana alam mempengaruhi kehidupan perempuan , laki-laki , anak perempuan dan anak laki-laki secara berbeda. Bahkan, perempuan dan anak perempuan lebih cenderung terkena dampak bencana lebih buruk , mereka kehilangan mata pencaharian dan aset produktif yang selama ini menopang penghidupan mereka ditambah dengan terbatasnya ketrampilan dan pengetahuan untuk mencari sumber – sumber penghidupan baru , disamping itu juga meningkatnya kasus kekerasan berbasis gender yang dapat menimpa mereka. Perempuan dan kelompok rentan lainnya memiliki akses terbatas dalam mekanisme manajemen bencana, segala jenis informasi dan sumber daya terkait dengan kesiapan dan pencegahan bencana termasuk regulasi dan disain-disain program yang terkadang masih buta gender.
Pengalaman dan kemampuan perempuan dalam mengelola bencana alam sering lupa untuk diidentifikasi terkait dengan kapasitas, kerentanan, dan risiko. Oleh karenanya kalau kita cermati partisipasi perempuan dalam pengurangan risiko bencana (PRB) dalam semua tahapan proses pada tiap tingkatan masih sangat rendah. Karenanya penting memasukan perspektif gender dalam berbagai aspek seperti aspek regulasi, perencanaan, pendanaan, kelembagaan, peningkatan kapasitas, dan sebagainya sehingga mereka akan siap dalam menghadapi bencana dan dapat pulih dengan segera dari situasi – situasi tersebut.
Berdasarkan hasil Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) tahun 2013 yang diterbitkan oleh BNPB, dimana 388 dari 497 kabupaten/kota memiliki risiko tinggi, sementara 109 kabupaten/kota memiliki risiko sedang dengan 12 jenis ancaman bencana di Indonesia.
Disamping itu lebih dari 50% bencana disebabkan oleh kelalaian dan keserakahan manusia. Tidak ada kabupaten/kota yang aman dari ancaman bencana dan lebih dari 204 juta orang tinggal di daerah rawan bencana. Pada 2011-2016, kejadian bencana di Indonesia lebih dari 90% merupakan jenis bencana hidrometeorologis seperti 30% banjir; tornado 28%; longsor 22%; kekeringan 5% dan kebakaran hutan dan darat 3%.
Kombinasi pendekatan yang berbasis masyarakat, pendekatan regional atau regional, pendekatan pengembangan kapasitas pemerintah daerah, dan perluasan kerja sama dan kemitraan (jaringan) adalah kunci keberhasilan dalam mengurangi risiko dan kerentanan, mencegah dan menangani bencana.
CARE dan CIS Timor dalam program PfR-SP (Partners for Resilient – Strategic Partnership) melalui pendekatan PRT (Pengelolaan Risiko Bencana) mempromosikan prinsip utama dari Fokus Kemitraan yang menggunakan kekuatan bersama dari lembaga, pemangku kepentingan, sektor dan pemerintah yang bekerja dalam kemitraan. Untuk melaksanakan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan rencana investasi dalam pembangunan di tingkat kabupaten dan desa, CARE dan CIS Timor berencana untuk mendukung BPBD Kabupaten dan Forum PRB setempat dengan melaksanakan lokakarya tentang identifikasi kegiatan pada pengembangan kapasitas untuk mengurangi kerentanan di suatu wilayah kabupaten berdasarkan 71 indikator kebijakan dan strategi pengelolaan bencana di kabupaten dan lokakarya dan tentang pemenuhan indikator ketahanan masyarakat dalam dokumen rencana pembangunan desa dan rekomendasi aksi untuk pemerintah kabupaten Kupang.
Adapun beberapa point penting yang perlu di jadikan perhatian bersama adalah :
1. Penilaian desa tangguh bencana sudah dilakukan kepada 11 desa dari 160 desa di kab. Kupang. Kita jadi tahu kelas dari ke11 desa tersebut. Ada yang belum masuk kelas pratama, tapi sudah ada yang masuk kelas pratama dan madya. Kondisi ini menjadi data awal untuk menaikkan kelas desa-desa dampingan kita. Bagaimana strategi dan caranya agar desa-desa ini menjadi naik kelas ? Bagaimana 149 desa lainnya dinilai ketangguhannya?.
2. Selama 3 hari kita sudah menyusun bersama rencana rencana aksi tingkat desa untuk mendukung ketangguhan masing-masing desa. Langkah selanjutnya adalah kita memastikan bersama agar rencana aksi ini ”disuntik” masuk dalam rencana pembangunan desa (RPJMDes atau RKPDes). Hal ini membutuhkan komitment dari para kades dan perangkat desa serta teman-teman pendamping desa untuk mengawal proses perencanaan agar setiap rencana aksi tersebut masuk dalam dokumen perencanaan desa.
3. Memastikan setiap rekomendasi bagi agenda ketangguhan desa yang ditujukan ke lingkup kabupaten, provinsi, dan nasional dapat teradvokasi paska workshop ini. Rekomendasi itu perlu masuk dalam dokumen RPB kabupaten dan RPJMD kabupaten maupun Provinsi, serta menjadi wacana dalam diskursus di level nasional. Nah ini membutuhkan gerakan advokasi multi pihak. Kita perlu berbagi peran agar rekomendasi ini benar-benar mempengaruhi kebijakan di daerah dan nasional.
4. Dalam kerangka mengadvokasi rencana aksi yang sudah kita buat didalam workshop ini, maka kita pun perlu memastikan agar kaum perempuan dan kelompok disabilitas turut terlibat. Mereka adalah kekuatan yang selama ini disepelekan. Hak dan peran mereka perlu dipastikan didalam kerja-kerja advokasi seperti ini.
5. Komunikasi kita semua paska workshop ini. Peserta sangat antusias untuk menggagas WA grup. Silahkan dikonkritkan. Kami mengusulkan agar WA grup ini dibuat oleh BPBD Kab Kupang sebagai simpul koordinasi. ***Silvester Ndaparoka – FILCO PfRSP NTT