IBU AHINOAM dan Ibu Dortia adalah orangtua yang terlibat aktivitas tentang pendidikan inklusif, mereka adalah orangtua anak dengan disabilitas. Keduanya menuturkan bahwa keterlibatan mereka ini didorong oleh kebutuhan yang besar untuk mendapatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kondisi anak-anak mereka. Ibu Ahinoam dan Ibu Dortia merasa dengan peningkatan pemahaman dan pegetahuan yang didapatkan, mereka akan lebih bisa memberikan kasih sayang, perhatian dan perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan anak mereka. Besar keinginan mereka untuk merawat serta memperlakukan anak-anak mereka sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh anak mereka.
“Jadi dengan beta ikut kegiatan ini be bisa belajar jadi dia bisa, seperti kakak lihat sekarang dia jauh lebih bisa aktif dan main diluar.”
(“Dengan saya mengikuti kegiatan ini saya belajar bahwa anak saya juga bisa beraktifias seperti anak lainnya termasuk aktifias di luar rumah”)
Sejak bulan Mei 2017, Ibu Ahinoam dan Ibu Dortia mulai mengikuti kegiatan tentang pendidikan inklusif setelah menerima undangan untuk mengikuti kelas parenting dari Handicap International. Undangan ini disambut dengan baik oleh Ibu Dortia dan Ibu Ahinoam, dengan motivasi untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka.
“Anak ini punya hak untuk mendapatkan pendidikan yang inklusif,
Jadi dari awal itu beta merasa malu gitu ada yang olok , ada yang orang bilang begini begitu, ada yang bilang lu jangan paksa dia lae. Orang yang normal sa sekolah-sekolah sond dapat kerja dan lu jangan paksa dia lae. Na beta merasa beta pung anak ju punya hak untuk mendapatkan pendidikan. Beta kasih sekolah dia!”
(“Anak saya punya hak mendapatkan pendidikan yang inklusif, sejak dulu saya merasa malu ketika ada yang mengolok dengan pernyatan yang bermacam-macam, ada yang menyatakan untuk tidak memaksa anak saya. Orang Non Disabilitas saja yang bersekolah saja tidak mendapat pekerjaaan jadi memaksakan anak saya untuk bersekolah. Namun saya merasa, anak saya berhak mendaptkan pendidikan. Saya menyekolahkan Dia!”)
Ibu Ahinoam dan Ibu Dortia memiliki harapan yang sederhana untuk masa depan anak-anak mereka, agar bisa mendapatkan perhatian khusus. Khususnya Ibu Dortia, kondisinya dapat dikatakan sangat prihatin, mengingat ia belum tentu bisa terus mendampingi anaknya. Ia berharap ada suatu badan khusus yang dapat memberikan bantuan merawat dan memelihara anak-anak dengan disabilitas sesuai kebutuhan mereka.
“katong pikir kalau anak-anak seperti dong ni dong membutuhkan guru yang betul-betul mengerti dong pung keadaan” (“Kami berpikir anak-anak dengan disabilitas membutuhkan guru yang betul-betul mengerti kondisi mereka”)
Setelah mengikuti pelatihan Parenting Skill (meningkatkan kemampuan pola asuh anak) oleh Handicap International, Ibu Ahinoam dan Ibu Dortia merasa ada perubahan. Setidaknya mereka mengatakan bahwa mereka merasakan bahwa ada perubahan dalam diri mereka dan keluarga mereka. Ibu Dortia dan Ibu Ahinoam berkenalan kembali dengan kondisi anak-anak mereka. Contohnya, dalam hal nutrisi, Ibu Dortia dan Ibu Ahinoam tidak lagi memberikan mie instan dan jajanan-jajanan dalam kemasan, hasilnya mengejutkan! Anak mereka mulai bisa merespon dan bermain diluar rumah dengan teman-temannya.
“Kawan banyak. Te dia senang sekali ada anak-anak yang mau ko rela bermain dengan dia. Beta kasih tinggal dia sendiri ju ada kawankawan yang datang bermain dengan dia ju, ada yang lewat jalan ju dong panggil, yang sond kenal dia dong panggil di sekolah SD ju. Dia banyak kawan. Kemarin sonde pi sekolah e tadi pagi antar te semua teman kerumun dia. E beta biasa panggil dia bungsu. Te kawan bilang bungsu kemarin pi mana? Ko sond datang sekolah? Dia sond takut ibu dong. Dari jauh sa su slamat, “ibu slamat pagi”! Nah, beta merasa bangga begitu beta pung anak ni bisa juga.”
(“Teman-temannya banyak, dia senang sekali bila ada anak-anak yang mau bermain dengannya. Ketika saya tinggalkan dia sendiri (dirumah) ada kawan-kawannya yang datang dan bermain bersama, ada pula yang menyapanya ketika melewati rumah kami, termasuk anak-anak yang lain disekolah, mereka juga mengajaknya bermain. Bungsu memiliki banyak teman. Kemarin Bungsu tidak ke sekolah, ketika tadi pagi saya mengantarnya (ke sekolah) banyak teman datang mengeremuninya. Saya biasa memangilnya Bungsu. Teman-temannya menanyakan kabarnya ‘kemarin kemana? Kenapa tidak ke sekolah? Bungsu merasa nyaman dengan guru-guru? Dari jauh dia sudah menyapa, Ibu selamat pagi! Saya merasa bangga, ternyata anak saya juga bisa (baca : sama seperti anak lain”) Perubahan penting lain yang terjadi adalah semakin meningkatnya kesadaran mengenai pendidikan terutama bagi anak-anak dengan kondisi disabilitas.
“Katong saat kasih sekolah dia di SD katong juga ragu dan sond mampu ibu e. Ternyata disekolah dia pung nilai dong seratus, delapan puluh dan tidak pernah turun dari situ ampir mau dibilang juara 1 lah.”
(“Saat kami menyekolahkan dia di SD, kami juga merasa ragu dan tidak mampu Ibu. Ternyata di sekolah dia mendapat nilai seratus, delapan pulu dan tidak pernah turun dari nilai itu, bisa dikatakan hampir juara 1.”)
Baik Ibu Dortia maupun Ibu Ahinoam ingin agar anak-anak dengan disabilitas tidak diolok -olok dan dibedakan dengan anak-anak nondisabilitas. Mereka ingin kehidupan yang lebih baik, berkualitas dan masa depan yang baik.
Sehingga, saat kedua orang tua tidak lagi ada untuk merawat anak mereka, keluarga dan pemerintah siap untuk menjamin hidup mereka. Semakin meningkatnya kesadaran kedua orang tua ini terhadap pentingnya pendidikan bagi anak-anak disabilitas, semakin mengobarkan semangat mereka untuk memperjuangkan hak pendidikan yang layak bagi anaknya. Mereka berusaha mencari informasi sekolah inklusi yang menerima anak dengan disabilitas.
“awal mau daftar dia ni ibu guru dong sond mau. Anak yang begini ni sonde bisa bersekolah di sini. Jadi be langsung omong sudah, itu hari be ikut kegiatan di kantor desa tu kalau memang ibu dong sonde bersedia beta akan lapor begitu. Guru dong bilang sabar e katong tanya kepsek dulu e. Akhirnya kepala sekolah marah. Dong pi tanya kepala sekolah, kepala sekolah bilang terima saja tidak boleh membeda-bedakan, terima saja. Kalu sonde b sonde kasih sekolah dia lae.”
(“Ketika mendaftar sekolah, awalnya mengalami penolakan dari guru. Anak disabilitas tidak bisa bersekolah disini. Saya langsung mengatakan, saya pernah ikut kegiatan (sosilisasi tentang Hak penyandang disabilitas, lewat kegiatan parenting skills) dikantor desa, kalau Ibu (Guru) tidak menerima anak saya, saya akan melapor.
Guru menyampaikan agar saya dapat bersabar karena akan dikonsultasikan ke Kepala Sekolah. Kepala sekolah marah, dan memutuskan agar menerima tanpa perlu membeda- bedakan apakah disabilitas atau bukan. Kalau tidak ada keputusan (Baca :dari Kepesek) mungkin saya tidak dapat menyekolahkannya.)
Pernyataan Ibu Ahinoam ini, merupakan salah satu alasan yang kuat untuk memperjuangkan hak Anak-anak dengan disabilitas untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Bahkan ketika anak mereka menunjukkan perkembangan yang positif saat bersekolah, mereka terdorong untuk menyediakan aksesibilitas untuk membantu sekolah agar dapat menyekolahkan anaknya.
“Tentang pendidikan, karena kebanyakan anak-anak yang begini orang tua sonde terlalu peduli. Mungkin kedepan ada pendidikan yang bisa terima dong… Be ju sempat omong dengan guru, beta siapkan meja sendiri karena meja di sekolah tu terlalu tinggi. Dia setengah mati. Mau bawa kursi roda ju sonde bisa lae, karna ban sonde bisa dan remnya ju sond bisa lae.”
(“Mengenai Pendidikan bagi anak disabilitas seringkali belum menjadi prioritas bagi kebanyakan orang tua. Mungkin kedepan ada sekolah yang dapat menerima mereka, saya pernah menyaipakan kepada guru bahwa saya dapat menyediakan meja khusus karena meja di sekolah terlalu tinggi membuat anak saya mengalami kesulitan. Juga tidak memungkinkan untuk membawa kursi roda karena ban dan remnya mengalami kerusakan”.)
Dengan komitmen tersebut, ia pun melihat dan merasakan sekali adanya perubahan yang terjadi di lingkungan sekolah. Diantaranya adalah dengan adanya kesediaan sekolah untuk memenuhi hak anak dengan disabilitas agar mendapatkan pendidikan, dan juga kesadaran dan penerimaan lingkungan terhaadap keragaman yang ada dalam masyarakat, dimulai dari sikap anak-anak non-disabilitas yang berinteraksi bebas dengan anak disabilitas di sekolah. Kedua orang tua ini pun kemudian mampu untuk menjalin kerjasama dengan guru dan sekolah untuk berjuang bersama memenuhi hak anak dengan disabilitas dengan optimis.
Karena itu, mereka menginginkan agar para guru yang mengajar di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif itu mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.
Beta juga berpikir, kalo untuk jadi guru untuk umum itu mungkin sudah biasa. Tapi kalo guru untuk anak-anak seperti dong ni, beta mungkin minta pemerintah jauh lebih memerhatikan guru-guru itu. Karena dong mau sabar untuk hadapi anak-anak. Dong pung ajaran anakanak tidak mudah! Jadi bagaimana supaya pemerintah lebih memerhatikan guru-guru yang mendidik anak-anak disabilitas ini.
(“Saya berpikir untuk menjadi guru umum akan lebih muda. Guru yang mendampingi anak dengan disabilitas, diharapkan mereka (guru) lebih mendapat perhatian dari pemerintah, karena mereka bersikap sabar dalam menghadapi (melayani) anak-anak dengan disabilitas, tidak mudah bagi mereka dalam mengajarin anak-anak dengan disabilitas, sehingga perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah”)
Karena perjuangan sebagai orang tua dari anak dengan disabilitas, bagi kedua ibu ini tidaklah mudah. Baik itu Ibu Dortia, sebagai ibunda dari Marselino, seorang anak dengan hambatan fisik yang membuat dia kemudian mengalami hambatan (disabilitas) untuk bisa bergerak dari satu titik ke titik yang lain (mobilitas) dan selain itu juga memiliki hambatan belajar (disabilitas intelektual).
Begitu juga dengan Ibu Ahinoam, ibunda dari Glimens, anak dengan kondisi cerebral palsy, istilah yang digunakan untuk menggambarkan sekelompok gangguan yang mempengaruhi gerak, keseimbangan dan postur tubuh yang disebabkan oleh cidera otak sehingga mengakibatkan kesulitan untuk mengendalikan otot dan gerakannya. Sehingga, sekalipun tantangan baik dari keluarga yang lainnya dan juga dari masyarakat sekitar masih ada, kedua orang ibu yang sederhana ini tetap memiliki harapan yang besar untuk masa depan pendidikan bagi anak-anak mereka.
“Bapa, orang kalo lihat dia bilang kasihan Ai (Marcelino,red) pung keadaan. Tapi kalo untuk beta, beta su sangat-sangat.. Ini su sangat banyak!! Dari yang dia tidak bisa apa-apa, sampai su bisa jalan.”
(Bapak, jika orang melihat keadaan Ai orang akan mengatakan ‘kasihan’. Tapi bagi saya, saya sudah sangat bersyukur melihat perkembangannya, dari awalnya tidak bisa melakukan apapun sekarang sudah bisa berjalan”).